Manajemen Air Hujan di Indonesia
Dunia ke depan dibayang-bayangi oleh krisis yang sangat mengancam, yaitu krisis persediaan air bersih. Demikian juga di Indonesia, masalah air bersih ini akan secara eskalatif memanas dari tahun ke tahun.
Sengketa atas penggunaan mata air oleh masyarakat dan PDAM di berbagai daerah dan penurunan muka air tanah serta penurunan debit mata air di sebagian besar wilayah Indonesia merupakan suatu indikasi adanya masalah air bersih yang cukup serius dewasa ini.
Di samping itu, kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan secara rutin menimpa kita. Masalah tersebut di antaranya disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan wilayah daerah aliran sungai dan juga kerusakan lingkungan yang terus berjalan sekarang ini.
Kita sebagai bangsa yang menempati wilayah dengan curah hujan cukup tinggi, 2.000-4.000 mm/tahun, ternyata belum tergerak sedikit pun untuk mengelola potensi air hujan yang begitu besar tersebut.
Tulisan ini menyajikan konsep memanen air hujan (rain water harvesting) untuk segera dikembangkan di Indonesia guna menanggulangi masalah di atas. Istilah memanen hujan sebenarnya berasal dari bidang pertanian, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan air pertanian di daerah arid dan semi arid.
Namun, upaya memanen hujan di dunia internasional saat ini menjadi bagian penting dalam agenda global environmental water resources management dalam rangka penanggulangan ketimpangan air pada musim hujan dan kering (lack of water), kekurangan pasokan air bersih penduduk dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan.
Memanen hujan dapat didefinisikan sebagai upaya menampung air hujan untuk kebutuhan air bersih atau meresapkan air hujan ke dalam tanah untuk menanggulangi banjir dan kekeringan.
Perkembangan terakhir di negara maju yang dapat dilihat di International Exhibition on Water and Wastewater di Munic, Jerman, 24-29 April 2005, justru mulai ada tren besar-besaran untuk membuat kolam tandon air hujan skala rumah tangga untuk keperluan mengepel, mencuci mobil, menyiram tanaman, menggelontor toilet, bahkan ada yang dilengkapi sekaligus dengan perangkat pengolahan air mini sehingga seluruh air hujan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum. Salah satu contoh implementasi memanen air hujan adalah kebutuhan air bandara di Frankfurt, Jerman, dipasok dari air hujan yang dikumpulkan dari atap bandara tersebut.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa metode hujan yang telah berkembang dan beberapa wacana memanen hujan yang dapat dikembangkan di Indonesia, baik memanen hujan yang langsung bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih rumah tangga maupun memanen air hujan untuk mengisi air tanah.
Metode memanen hujan
Kolam tandon air rumah tangga sudah banyak dipakai masyarakat secara tradisional sebagai cadangan air bersih. Misal kolam tandon harian komunal di Gunung Kidul, DI Yogyakarta (kolam PAH atau kolam pengumpul air hujan). Tiap keluarga secara individual membuat kolam tandon di bawah rumah atau di bawah teras. Untuk rumah sederhana dan rumah tingkat atau hotel dapat digunakan kolam tandon vertikal bentuk silinder dengan diameter 1-2 meter, disesuaikan dengan desain rumah yang ada, sehingga pengalirannya dapat dengan metode gravitasi.
Metode ini sangat menguntungkan karena minimal selama musim hujan kebutuhan dasar air bersih dapat ditopang dengan bak tandon ini. Dengan cara ini, kantor-kantor pemerintah dan swasta dapat memulai memanen hujan untuk mengurangi anggaran air bersih dari PDAM selama sekitar tujuh bulan (pada musim hujan dan beberapa bulan pada awal musim kemarau).
Metode kolam untuk menampung air sudah dipraktikkan secara tradisional oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Setiap rumah tangga dulu mempunyai kolam jogangan sekaligus untuk memelihara ikan atau merendam kayu.
Metode kolam dalam skala besar juga sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola pemenuhan kebutuhan bahan uruk (bahan galian C). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari lokasi tambang galian C, kemudian dikeruk. Hasil galiannya dipakai sebagai bahan uruk, bekas galiannya dipakai sebagai kolam resapan air hujan sekaligus dapat dikembangkan untuk rekreasi.
Cara ini banyak dipraktikkan di negara-negara maju sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka mempunyai banyak sekali danau buatan dari tambang galian C. Di samping itu, konstruksi kolam dapat dibangun di areal permukiman. Limpasan air hujan suatu kawasan permukiman ditampung di kolam untuk diolah kembali menjadi air minum, bahkan untuk kebutuhan air irigasi. Cara ini sudah banyak dipraktikkan di kompleks-kompleks perumahan perusahaan pertambangan di Sumatera dan Kalimantan.
Sedangkan metode sumur resapan sudah banyak dikenal masyarakat dan dapat diimplementasikan pada setiap unit perkantoran, tempat-tempat rekreasi, olahraga, pada ruas-ruas jalan, lapangan terbang, dan lain sebagainya. Masyarakat sudah banyak mengenal sumur resapan, namun implementasinya masih tergolong lambat.
Tanggul pekarangan
Masyarakat di pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi erosi pekarangan dengan membuat "tanggul pekarangan rendah" setinggi 20-30 cm dari susunan batu kosong atau batu bata dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka.
Metode tersebut telah banyak dilakukan di daerah Magelang dan Temanggung, Jawa Tengah, dan Sleman, DI Yogyakarta. Konstruksi ini ternyata juga berfungsi sebagai pola memanen hujan karena limpahan limpasan hujan akan tertahan dan meresap di areal pekarangan, tidak langsung mengalir ke sungai, dan sumur mereka tidak pernah kering.
Modifikasi lanskap untuk memanen hujan sedang banyak dikerjakan di beberapa negara maju, misal di Kanada, Jerman, dan Jepang. Salah satunya dengan mengganti jaringan drainase kawasan dengan cekungan-cekungan di berbagai tempat (modifikasi lanskap) sehingga air hujan akan tertampung di lokasi cekungan tersebut.
Cara modifikasi lanskap ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan lebih dari 50 persen. Di Indonesia metode ini secara tradisional sebenarnya sudah berkembang. Masyarakat "memodifikasi lanskap" mereka dengan membuat parit-parit kecil dan cekungan-cekungan dangkal di pekarangan mereka sekaligus sebagai ornamen kebun pekarangan.
Pemerintah dan masyarakat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga deversifikasi vegetasinya dan konstruksi apa pun tidak boleh dibangun di atas areal tersebut.
Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan bebas dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air hujan ini. Kondisi danau, telaga, dan situ di berbagai tempat di Indonesia semakin memburuk, daya tampungnya berkurang drastis karena sedimentasi, jumlahnya berkurang drastis karena banyak yang diuruk dan dijarah dijadikan areal pemukiman.
Metode rain water harvesting dapat dilakukan untuk merevitalisasi kembali danau, telaga, dan situ dengan konsep ekohidraulik, yaitu memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi dan hidraulik penyusun telaga, situ, dan danau yang bersangkutan sehingga dapat berfungsi menampung dan meresapkan air hujan serta dapat digunakan untuk keperluan air minum maupun pengisian air tanah. Berdasarkan penelitian di daerah Pati, Grobogan, dan Gunung Kidul, danau, telaga, dan situ yang masih alami sempadannya umumnya kualitas dan kuantitas airnya bagus.
Terakhir, ironis sekali karunia hujan yang begitu besar di Indonesia ini masih kita telantarkan. Air hujan dengan kualitas cukup tinggi yang turun lima sampai enam bulan dalam satu tahun di kawasan kita sungguh merupakan potensi yang sangat luar biasa.
Namun, sebagian besar masyarakat kita tidak sadar bahwa air hujan yang hampir setiap hari mengguyur rumah dan membasahi pelataran kita dapat digunakan sebagai sumber air bersih yang andal.
Padahal, kita sadar bahwa kondisi penyediaan air bersih negara ini mengkhawatirkan, banjir dan kekeringan setiap tahun selalu mengancam. Sementara itu, teknologi tradisional dan kearifan lokal untuk memanen hujan yang pernah dan masih ada dalam masyarakat kita kebanyakan sudah tidak dimengerti generasi muda kita.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat mulai sekarang adalah menyadarkan masyarakat tentang potensi air hujan ini serta menggali dan mengembangkan metode-metode tepat guna untuk memanen hujan seoptimal mungkin guna pemenuhan kebutuhan air kita sehari-hari, mengurangi banjir dan kekeringan.
Dr Ing Ir Agus Maryono Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
Sengketa atas penggunaan mata air oleh masyarakat dan PDAM di berbagai daerah dan penurunan muka air tanah serta penurunan debit mata air di sebagian besar wilayah Indonesia merupakan suatu indikasi adanya masalah air bersih yang cukup serius dewasa ini.
Di samping itu, kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan secara rutin menimpa kita. Masalah tersebut di antaranya disebabkan oleh kesalahan dalam pengelolaan wilayah daerah aliran sungai dan juga kerusakan lingkungan yang terus berjalan sekarang ini.
Kita sebagai bangsa yang menempati wilayah dengan curah hujan cukup tinggi, 2.000-4.000 mm/tahun, ternyata belum tergerak sedikit pun untuk mengelola potensi air hujan yang begitu besar tersebut.
Tulisan ini menyajikan konsep memanen air hujan (rain water harvesting) untuk segera dikembangkan di Indonesia guna menanggulangi masalah di atas. Istilah memanen hujan sebenarnya berasal dari bidang pertanian, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan air pertanian di daerah arid dan semi arid.
Namun, upaya memanen hujan di dunia internasional saat ini menjadi bagian penting dalam agenda global environmental water resources management dalam rangka penanggulangan ketimpangan air pada musim hujan dan kering (lack of water), kekurangan pasokan air bersih penduduk dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan.
Memanen hujan dapat didefinisikan sebagai upaya menampung air hujan untuk kebutuhan air bersih atau meresapkan air hujan ke dalam tanah untuk menanggulangi banjir dan kekeringan.
Perkembangan terakhir di negara maju yang dapat dilihat di International Exhibition on Water and Wastewater di Munic, Jerman, 24-29 April 2005, justru mulai ada tren besar-besaran untuk membuat kolam tandon air hujan skala rumah tangga untuk keperluan mengepel, mencuci mobil, menyiram tanaman, menggelontor toilet, bahkan ada yang dilengkapi sekaligus dengan perangkat pengolahan air mini sehingga seluruh air hujan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum. Salah satu contoh implementasi memanen air hujan adalah kebutuhan air bandara di Frankfurt, Jerman, dipasok dari air hujan yang dikumpulkan dari atap bandara tersebut.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa metode hujan yang telah berkembang dan beberapa wacana memanen hujan yang dapat dikembangkan di Indonesia, baik memanen hujan yang langsung bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih rumah tangga maupun memanen air hujan untuk mengisi air tanah.
Metode memanen hujan
Kolam tandon air rumah tangga sudah banyak dipakai masyarakat secara tradisional sebagai cadangan air bersih. Misal kolam tandon harian komunal di Gunung Kidul, DI Yogyakarta (kolam PAH atau kolam pengumpul air hujan). Tiap keluarga secara individual membuat kolam tandon di bawah rumah atau di bawah teras. Untuk rumah sederhana dan rumah tingkat atau hotel dapat digunakan kolam tandon vertikal bentuk silinder dengan diameter 1-2 meter, disesuaikan dengan desain rumah yang ada, sehingga pengalirannya dapat dengan metode gravitasi.
Metode ini sangat menguntungkan karena minimal selama musim hujan kebutuhan dasar air bersih dapat ditopang dengan bak tandon ini. Dengan cara ini, kantor-kantor pemerintah dan swasta dapat memulai memanen hujan untuk mengurangi anggaran air bersih dari PDAM selama sekitar tujuh bulan (pada musim hujan dan beberapa bulan pada awal musim kemarau).
Metode kolam untuk menampung air sudah dipraktikkan secara tradisional oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Setiap rumah tangga dulu mempunyai kolam jogangan sekaligus untuk memelihara ikan atau merendam kayu.
Metode kolam dalam skala besar juga sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola pemenuhan kebutuhan bahan uruk (bahan galian C). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari lokasi tambang galian C, kemudian dikeruk. Hasil galiannya dipakai sebagai bahan uruk, bekas galiannya dipakai sebagai kolam resapan air hujan sekaligus dapat dikembangkan untuk rekreasi.
Cara ini banyak dipraktikkan di negara-negara maju sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka mempunyai banyak sekali danau buatan dari tambang galian C. Di samping itu, konstruksi kolam dapat dibangun di areal permukiman. Limpasan air hujan suatu kawasan permukiman ditampung di kolam untuk diolah kembali menjadi air minum, bahkan untuk kebutuhan air irigasi. Cara ini sudah banyak dipraktikkan di kompleks-kompleks perumahan perusahaan pertambangan di Sumatera dan Kalimantan.
Sedangkan metode sumur resapan sudah banyak dikenal masyarakat dan dapat diimplementasikan pada setiap unit perkantoran, tempat-tempat rekreasi, olahraga, pada ruas-ruas jalan, lapangan terbang, dan lain sebagainya. Masyarakat sudah banyak mengenal sumur resapan, namun implementasinya masih tergolong lambat.
Tanggul pekarangan
Masyarakat di pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi erosi pekarangan dengan membuat "tanggul pekarangan rendah" setinggi 20-30 cm dari susunan batu kosong atau batu bata dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka.
Metode tersebut telah banyak dilakukan di daerah Magelang dan Temanggung, Jawa Tengah, dan Sleman, DI Yogyakarta. Konstruksi ini ternyata juga berfungsi sebagai pola memanen hujan karena limpahan limpasan hujan akan tertahan dan meresap di areal pekarangan, tidak langsung mengalir ke sungai, dan sumur mereka tidak pernah kering.
Modifikasi lanskap untuk memanen hujan sedang banyak dikerjakan di beberapa negara maju, misal di Kanada, Jerman, dan Jepang. Salah satunya dengan mengganti jaringan drainase kawasan dengan cekungan-cekungan di berbagai tempat (modifikasi lanskap) sehingga air hujan akan tertampung di lokasi cekungan tersebut.
Cara modifikasi lanskap ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan lebih dari 50 persen. Di Indonesia metode ini secara tradisional sebenarnya sudah berkembang. Masyarakat "memodifikasi lanskap" mereka dengan membuat parit-parit kecil dan cekungan-cekungan dangkal di pekarangan mereka sekaligus sebagai ornamen kebun pekarangan.
Pemerintah dan masyarakat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga deversifikasi vegetasinya dan konstruksi apa pun tidak boleh dibangun di atas areal tersebut.
Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan bebas dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air hujan ini. Kondisi danau, telaga, dan situ di berbagai tempat di Indonesia semakin memburuk, daya tampungnya berkurang drastis karena sedimentasi, jumlahnya berkurang drastis karena banyak yang diuruk dan dijarah dijadikan areal pemukiman.
Metode rain water harvesting dapat dilakukan untuk merevitalisasi kembali danau, telaga, dan situ dengan konsep ekohidraulik, yaitu memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi dan hidraulik penyusun telaga, situ, dan danau yang bersangkutan sehingga dapat berfungsi menampung dan meresapkan air hujan serta dapat digunakan untuk keperluan air minum maupun pengisian air tanah. Berdasarkan penelitian di daerah Pati, Grobogan, dan Gunung Kidul, danau, telaga, dan situ yang masih alami sempadannya umumnya kualitas dan kuantitas airnya bagus.
Terakhir, ironis sekali karunia hujan yang begitu besar di Indonesia ini masih kita telantarkan. Air hujan dengan kualitas cukup tinggi yang turun lima sampai enam bulan dalam satu tahun di kawasan kita sungguh merupakan potensi yang sangat luar biasa.
Namun, sebagian besar masyarakat kita tidak sadar bahwa air hujan yang hampir setiap hari mengguyur rumah dan membasahi pelataran kita dapat digunakan sebagai sumber air bersih yang andal.
Padahal, kita sadar bahwa kondisi penyediaan air bersih negara ini mengkhawatirkan, banjir dan kekeringan setiap tahun selalu mengancam. Sementara itu, teknologi tradisional dan kearifan lokal untuk memanen hujan yang pernah dan masih ada dalam masyarakat kita kebanyakan sudah tidak dimengerti generasi muda kita.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat mulai sekarang adalah menyadarkan masyarakat tentang potensi air hujan ini serta menggali dan mengembangkan metode-metode tepat guna untuk memanen hujan seoptimal mungkin guna pemenuhan kebutuhan air kita sehari-hari, mengurangi banjir dan kekeringan.
Dr Ing Ir Agus Maryono Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada